Kembalinya Penjurusan di SMA Dinilai Lemah secara Akademik
Yogyakarta – Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) kembali mewacanakan pemberlakuan sistem penjurusan di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), seperti yang berlaku pada kurikulum sebelumnya: IPA, IPS, dan Bahasa. Padahal, sistem tersebut telah dihapuskan melalui penerapan Kurikulum Merdeka yang memberikan kebebasan lebih kepada siswa dalam memilih mata pelajaran sesuai minat dan bakat mereka.
Kembalinya Penjurusan di SMA Dinilai Lemah secara Akademik
Kebijakan ini memicu berbagai tanggapan dari kalangan akademisi. Salah satunya datang dari pakar pendidikan Universitas Gadjah Mada (UGM), yang menilai bahwa wacana pengembalian sistem penjurusan tidak memiliki dasar akademik yang kuat. Namun di sisi lain, ia mengakui bahwa link alternatif planetbola88 langkah tersebut bisa saja dimotivasi oleh pertimbangan politis.
Kurikulum Merdeka: Mengapa Penjurusan Dihapus
Kurikulum Merdeka merupakan upaya transformasi sistem pendidikan Indonesia agar lebih adaptif terhadap kebutuhan zaman. Salah satu poin revolusionernya adalah penghapusan sistem penjurusan di SMA. Sebagai gantinya, siswa diberikan fleksibilitas untuk memilih mata pelajaran lintas bidang, sesuai dengan minat, bakat, serta rencana karier di masa depan.
Kebebasan ini dianggap dapat meningkatkan motivasi belajar dan mengembangkan potensi siswa secara lebih maksimal. Banyak guru dan siswa pun menyambut baik pendekatan ini, karena mengurangi tekanan memilih jurusan sejak awal masuk SMA.
Wacana Kembalinya Penjurusan: Apa Alasan di Baliknya?
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menyebut bahwa pengembalian sistem penjurusan akan membawa kejelasan dalam proses pembelajaran dan memudahkan pengelolaan kurikulum di sekolah. Selain itu, penjurusan dianggap dapat membantu siswa fokus sejak dini dalam mempersiapkan jurusan kuliah atau karier yang ingin dikejar.
Namun, banyak pihak mempertanyakan efektivitas dan urgensi dari langkah ini. Dalam pandangan para akademisi, langkah mundur ke sistem lama terkesan terburu-buru dan tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap perkembangan siswa.
Pakar UGM: Lemah dari Segi Akademik, Kuat di Level Politik
Pakar pendidikan dari UGM menyebut bahwa secara substansi akademik, kembalinya penjurusan di SMA tidak punya justifikasi yang cukup kuat. Ia menilai bahwa justru pendekatan fleksibel seperti yang diterapkan Kurikulum Merdeka lebih relevan dengan kebutuhan abad 21, di mana batas antara ilmu eksakta dan sosial-humaniora semakin kabur.
Namun, dari sisi politik, kebijakan ini bisa saja menjadi bentuk respons terhadap tekanan publik atau elite pendidikan yang merasa “nyaman” dengan format lama. “Ini bukan sekadar urusan kurikulum, tapi juga bagaimana pemerintah menjaga stabilitas kebijakan di tengah suara-suara yang menuntut kejelasan,” katanya.
Pro dan Kontra di Lapangan
Guru-guru di beberapa sekolah menilai bahwa kembali ke sistem penjurusan memang akan menyederhanakan perencanaan pembelajaran. Namun, tidak sedikit juga yang menilai bahwa hal ini akan membatasi ruang gerak siswa yang sebenarnya ingin menjelajahi lintas bidang.
Di sisi siswa, wacana ini memunculkan kebingungan. Banyak yang sudah mulai nyaman dengan sistem Kurikulum Merdeka karena bisa mengambil mata pelajaran seperti Matematika dan Sosiologi secara bersamaan. “Kalau kembali ke jurusan, saya harus memilih padahal minat saya di dua bidang,” ujar seorang siswa kelas XI di Jakarta.
Apa yang Sebaiknya Dilakukan?
Melihat dinamika yang ada, penting bagi pemerintah untuk mengedepankan dialog terbuka dengan para pemangku kepentingan pendidikan: guru, siswa, orang tua, dan akademisi. Evaluasi berbasis data dan kajian mendalam harus menjadi dasar setiap perubahan kebijakan, bukan sekadar respons terhadap tekanan publik atau birokrasi.
Kebijakan pendidikan sebaiknya tidak berubah-ubah dalam waktu singkat tanpa alasan yang kuat. Konsistensi dan keberlanjutan sangat penting untuk membangun sistem pendidikan yang kokoh dan mampu beradaptasi dengan tantangan masa depan.